Sejak abad ke-16 sampai abad ke-20 Makassar merupakan salah satu wilayah yang memiliki peranan penting dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber yang ada dalam negeri maupun sumber dari luar negeri. Salah satunya adalah laporan perdagangan Makassar pada tahun 1895, dimana Makassar telah memiliki tujuh tempat tujuan ekspor kopra, kemudian naik menjadi 24 tujuan ekspor kopra pada tahun 1920. (Export market Report, Published Monthly by the Handelsvereeniging Makassar, 1921). Perdagangan kopra merupakan salah satu komoditi yang utama pada tahun 1883-1958. Ketika bangsa Eropa mencari emas hijau di daerah-daerah tropis. Slogan untuk “mencari emas hijau” atau kopra tidak terelakkan lagi ketika bangsa Eropa mencari bahan baku untuk pembuatan mentega dan sabun pada perempat abad ke-19. Dari situ mulailah terjadi perdagangan kopra yang tidak hanya dilakukan dalam negeri tetapi keluar negeri. Seperti ke Asia, Eropa dan Amerika.
Perdagangan kopra di Makassar secara kronologis dapat dibagi dalam empat tahapan. Pertama,disebut sebagai periode pertumbuhan yang terjadi pada tahun 1883-1914. JC Westermann dan WC Houck mengatakan bahwa pada periode ini, Makassar tampil sebagai kekuatan ekonomi di Asia Pasifik. Bahkan ekspor kopra Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang. Di siniah terihat adanya konsep kelas sosial di wilayah tersebut. Struktur masyarakat terdiri dari {1} kelas bangsawan yang memiliki tanah {2} para pedagang (orang-orang Cina) yang memiliki modal {3} kelas buruh atau pekerja. Proses konsep ini terlihat pada tahun 1908, dimana mata pencaharian sekitar 24 penduduk Pulau Toedjoeh di Riau, tergantung pada kopra. Usaha kopra umumnya didominasi para keluarga bangsawan. Dan sebagian dikuasai oleh para pedagang. Beberapa keluarga bangsawan memiliki pohon kelapa hingga 20 ribu pohon. Para bangsawan Pulau Toedjoeh bahkan harus mendatangkan buruh dari singapura untuk bekerja di kebun-kebun mereka.
Aspek-aspek geografi juga mendukung dalam perdagangan kopra di Indonesia Timur. Aspek ini berhubungan langsung dengan ekologi, perkopraan di Indonesia Timur, seperti iklim, kondisi tanah, penduduk, kondisi fisik pelabuhan Makassar, dan jalur perdagangan. Bagian ini penting karena didasarkan atas munculnya Makassar sebagai pusat ekspor bukan saja karena letak geografis dan ekologinya, tetapi juga karena didukung oleh jaringan pelabuhan Makassar. Dengan kebijakan pemerintah Belanda. Pelabuhan Makassar dijadikan sebagai pelabuhan entreport, misalnya penataan struktur ruang dermaga, seperti perluasan panjang dermaga. Kebijakan ini didasarkan beberapa pertimbangan, {1} setelah Bataviasche Vrachten Converentie (BVC) tahun 1900, Makassar diharapkan bisa berhubungan langsung dengan jaringan perdagangan Eropa, tanpa melalui Singapura. {2} dalam posisi Makassar sebagai pusat eksportir kopra di Indonesia Timur, diharapkan kapal-kapal besar bisa langsung bersandar. {3} secara umum pemerintah Belanda berusaha mengurangi politik monopoli pengangkutan barang komoditas oleh kapal-kapal Inggris dan Jerman yang berpangkalan di Singapura terhadap jaringan perdagangannya di Indonesia Timur, khususnya Makassar.
Kedua,disebut periode ekspansi yang terjadi pada tahun 1915-1930. Dimana kopra Makassar yang telah menjadi kekuatan ekonomi regional dikembangkan dengan cara pengadaan sarana pengangkutan antar pulau, perluasan pelabuhan, menambah jumlah industri. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memperkokoh kekuatan ekonomi regional yang sedang menghadapi persaingan pasar global. Kajian ekspansi ini menggunakan konsep pendekatan teori ekonomi Neo-Klasik yang oleh Robert M Solow disebut sebagai masa pertumbuhan. Ditandai dengan ciri-ciri seperti meningkatnya produksi, banyaknya lapangan kerja, ramainya perdagangan luar, dan situasi harga komoditas ekspor yang cenderung stabil. Sementara itu, sebuah teori lain, yaitu teori jaringan perdagangan. Menekankan pada proses pertukaran yang dapat diartikan bahwa interaksi sosial terjadi karena adanya pertukaran barang, baik karena pertukaran barang yang dilakukan dalam skala tempat yang kecil, maupun karena dalam skala tempat yang lebih besar atau lintas geografi. Teori jaringan juga diungkapkan oleh J Th Lindblad. Dia melihat bahwa ekonomi luar meningkat pesat pada awal abad ke-20, disebabkan oleh terintegrasinya dengan pasar dunia. Menurutnya, pengaruh integrasi ekonomi luar Jawa dengan pasar dunia, jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan integrasi ekonomi antara pulau di wilayah Hindia Belanda.
Ketiga, disebut periode kegoncangan atau kontraksi yang terjadi tahun 1930-1950. Dimana ekspor kopra mulai stagnan, menurun, bahkan diliputi dengan konflik-konflik politik. Ketika itu, kekuatan ekonomi regional hancur dan kebijakan-kebijakan ekonomi lebih didasarkan atas pertimbangan politis. Hal ini ditandai dengan dengan munculnya monopoli pemerintah dalam mengatur ekspor pada tahun 1940. Dengan membentuk Coprafonds (yayasan kopra) yang sifatnya monopolistik, saat itu juga terjadi diferensiasi pengelolaan ekonomi antar pulau. Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah terus berlanjut sampai munculnya konflik berupa pergolakan daerah. Kajian kontraksi ini menggunakan konsep pendekatan Neo-Keynes yang dikemukakan oleh Roy F Harrod dengan memakai pendekatan teori ketidakstabilan (instability theorem). Harrod berpendapat bahwa dibalik proses pertumbuhan, terdapat juga unsur ketidakstabilan ekonomi yang diduga dapat mengganggu keseimbangan (ekuilibrum) ekonomi. Tujuan intervensi itu adalah untuk menyelamatkan investasi negara, kalau perlu pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan ekonomi.
Keempat, disebut periode kehancuran yang terjadi pada tahun 1950-1958. Ada sebuah teori ketergantungan sosial dari neokorporatisme yang menunjukkan bahwa negara tetap berperan besar mengatur organisasi dan dapat menghubungkan kepentingan negara dan masyarakat. Dalam kontek kajian perdagangan kopra di Makassar, menunjukkan dominannya negara mengatur perdagangan kopra menyebabkan tata niaga kopra Makassar hancur. Jalannya konsep ketergantungan sosial ini, nampak setelah Coprafonds dinasionalisasi menjadi Yayasan Kopra pada tahun 1954 dan dibentuknya organisasi tata niaga ekspor kopra yang dikendalikan oleh militer, yaitu dengan terbentuknya OPIK TT VII Wirabuana pada tahun 1956. Hal tersebut membuat tata niaga kopra semakin semrawut, penyelundupan dan sistem barter kopra meningkat. Ekspor kopra yang diharapkan meningkat malah menjadi masalah politik. Hal itu ditunjukkan dengan adanya tuntutan para pejuang gerakan Perjuangan Alam Semesta (Permesta) agar hasil perdagangan kopra 70 persen untuk daerah penghasil kopra sedangkan 30 persen untuk pemerintah pusat. Tuntutan itu sesuai dengan penerapan pelaksanaan otonomi daerah seperti termuat dalam UUDS. Penolakan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah membuat berbagai perwira dan tokoh-tokoh nasional di daearh berubah menuntut dibebaskannya hak barter ekspor kopra.
Perdagangan kopra di Makassar secara kronologis dapat dibagi dalam empat tahapan. Pertama,disebut sebagai periode pertumbuhan yang terjadi pada tahun 1883-1914. JC Westermann dan WC Houck mengatakan bahwa pada periode ini, Makassar tampil sebagai kekuatan ekonomi di Asia Pasifik. Bahkan ekspor kopra Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang. Di siniah terihat adanya konsep kelas sosial di wilayah tersebut. Struktur masyarakat terdiri dari {1} kelas bangsawan yang memiliki tanah {2} para pedagang (orang-orang Cina) yang memiliki modal {3} kelas buruh atau pekerja. Proses konsep ini terlihat pada tahun 1908, dimana mata pencaharian sekitar 24 penduduk Pulau Toedjoeh di Riau, tergantung pada kopra. Usaha kopra umumnya didominasi para keluarga bangsawan. Dan sebagian dikuasai oleh para pedagang. Beberapa keluarga bangsawan memiliki pohon kelapa hingga 20 ribu pohon. Para bangsawan Pulau Toedjoeh bahkan harus mendatangkan buruh dari singapura untuk bekerja di kebun-kebun mereka.
Aspek-aspek geografi juga mendukung dalam perdagangan kopra di Indonesia Timur. Aspek ini berhubungan langsung dengan ekologi, perkopraan di Indonesia Timur, seperti iklim, kondisi tanah, penduduk, kondisi fisik pelabuhan Makassar, dan jalur perdagangan. Bagian ini penting karena didasarkan atas munculnya Makassar sebagai pusat ekspor bukan saja karena letak geografis dan ekologinya, tetapi juga karena didukung oleh jaringan pelabuhan Makassar. Dengan kebijakan pemerintah Belanda. Pelabuhan Makassar dijadikan sebagai pelabuhan entreport, misalnya penataan struktur ruang dermaga, seperti perluasan panjang dermaga. Kebijakan ini didasarkan beberapa pertimbangan, {1} setelah Bataviasche Vrachten Converentie (BVC) tahun 1900, Makassar diharapkan bisa berhubungan langsung dengan jaringan perdagangan Eropa, tanpa melalui Singapura. {2} dalam posisi Makassar sebagai pusat eksportir kopra di Indonesia Timur, diharapkan kapal-kapal besar bisa langsung bersandar. {3} secara umum pemerintah Belanda berusaha mengurangi politik monopoli pengangkutan barang komoditas oleh kapal-kapal Inggris dan Jerman yang berpangkalan di Singapura terhadap jaringan perdagangannya di Indonesia Timur, khususnya Makassar.
Kedua,disebut periode ekspansi yang terjadi pada tahun 1915-1930. Dimana kopra Makassar yang telah menjadi kekuatan ekonomi regional dikembangkan dengan cara pengadaan sarana pengangkutan antar pulau, perluasan pelabuhan, menambah jumlah industri. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memperkokoh kekuatan ekonomi regional yang sedang menghadapi persaingan pasar global. Kajian ekspansi ini menggunakan konsep pendekatan teori ekonomi Neo-Klasik yang oleh Robert M Solow disebut sebagai masa pertumbuhan. Ditandai dengan ciri-ciri seperti meningkatnya produksi, banyaknya lapangan kerja, ramainya perdagangan luar, dan situasi harga komoditas ekspor yang cenderung stabil. Sementara itu, sebuah teori lain, yaitu teori jaringan perdagangan. Menekankan pada proses pertukaran yang dapat diartikan bahwa interaksi sosial terjadi karena adanya pertukaran barang, baik karena pertukaran barang yang dilakukan dalam skala tempat yang kecil, maupun karena dalam skala tempat yang lebih besar atau lintas geografi. Teori jaringan juga diungkapkan oleh J Th Lindblad. Dia melihat bahwa ekonomi luar meningkat pesat pada awal abad ke-20, disebabkan oleh terintegrasinya dengan pasar dunia. Menurutnya, pengaruh integrasi ekonomi luar Jawa dengan pasar dunia, jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan integrasi ekonomi antara pulau di wilayah Hindia Belanda.
Ketiga, disebut periode kegoncangan atau kontraksi yang terjadi tahun 1930-1950. Dimana ekspor kopra mulai stagnan, menurun, bahkan diliputi dengan konflik-konflik politik. Ketika itu, kekuatan ekonomi regional hancur dan kebijakan-kebijakan ekonomi lebih didasarkan atas pertimbangan politis. Hal ini ditandai dengan dengan munculnya monopoli pemerintah dalam mengatur ekspor pada tahun 1940. Dengan membentuk Coprafonds (yayasan kopra) yang sifatnya monopolistik, saat itu juga terjadi diferensiasi pengelolaan ekonomi antar pulau. Kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah terus berlanjut sampai munculnya konflik berupa pergolakan daerah. Kajian kontraksi ini menggunakan konsep pendekatan Neo-Keynes yang dikemukakan oleh Roy F Harrod dengan memakai pendekatan teori ketidakstabilan (instability theorem). Harrod berpendapat bahwa dibalik proses pertumbuhan, terdapat juga unsur ketidakstabilan ekonomi yang diduga dapat mengganggu keseimbangan (ekuilibrum) ekonomi. Tujuan intervensi itu adalah untuk menyelamatkan investasi negara, kalau perlu pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan ekonomi.
Keempat, disebut periode kehancuran yang terjadi pada tahun 1950-1958. Ada sebuah teori ketergantungan sosial dari neokorporatisme yang menunjukkan bahwa negara tetap berperan besar mengatur organisasi dan dapat menghubungkan kepentingan negara dan masyarakat. Dalam kontek kajian perdagangan kopra di Makassar, menunjukkan dominannya negara mengatur perdagangan kopra menyebabkan tata niaga kopra Makassar hancur. Jalannya konsep ketergantungan sosial ini, nampak setelah Coprafonds dinasionalisasi menjadi Yayasan Kopra pada tahun 1954 dan dibentuknya organisasi tata niaga ekspor kopra yang dikendalikan oleh militer, yaitu dengan terbentuknya OPIK TT VII Wirabuana pada tahun 1956. Hal tersebut membuat tata niaga kopra semakin semrawut, penyelundupan dan sistem barter kopra meningkat. Ekspor kopra yang diharapkan meningkat malah menjadi masalah politik. Hal itu ditunjukkan dengan adanya tuntutan para pejuang gerakan Perjuangan Alam Semesta (Permesta) agar hasil perdagangan kopra 70 persen untuk daerah penghasil kopra sedangkan 30 persen untuk pemerintah pusat. Tuntutan itu sesuai dengan penerapan pelaksanaan otonomi daerah seperti termuat dalam UUDS. Penolakan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah membuat berbagai perwira dan tokoh-tokoh nasional di daearh berubah menuntut dibebaskannya hak barter ekspor kopra.
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.