Berbicara tentang sejarah perusahaan atau bisnis dalam arti seluas-luasnya mencakup keseluruhan aktivitas para pengusaha di masa lampau. Ada asumsi bahwa orang suka pada suatu kebebasan berkehendak dan dengan demikian, maka putusan-putusan pribadinya mempengaruhi jalannya kejadian-kejadian bersejarah.Dari sini timbul keyakinan bahwa putusan-putusan yang diambil dengan tujuan untuk mendapat keuntungan itu sejak lama telah membentuk arus perubahan ekonomi dan sosial di berbagai tempat di dunia. Dalam sejarah perusahaan, perubahan dipandang sebagai sifat yang terus menerus dan saling berhubungan, dengan jumlah yang tidak tetap, dan tidak ada akhirnya, tetapi selalu atas inisiatif manusia.
Sejarah perusahaan menekankan terutama pada elemen-elemen mikro ekonomi di masa lampau, dan memusatkan perhatian terutama pada proses perubahan dan sumber asal perubahan itu. Alat yang digunaan oleh sejarawan perusahaan yang profesional tergantung dari tujuannya dan dari pendekatan terhadap pengusaha yang dipilihnya. Setiap pendekatan yang utama melibatkan konteks yang berbeda dalam memandang para pengusaha dan perusahaan di masa lalu. Pendekatan yang dipakai dalam sejarah perusahaan memiliki banyak bidang, misalnya bidang ekonomi, sejarah, politik dan sebagainya. Para sejarawan amatir dengan pengalaman sebagai pengusaha dan penerbit yang ditugaskan untuk menulis sejarah perusahaan bagi kepentingan nonakademis, turut membantu dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan. Tetapi hal ini juga menimbulkan kekaburan bagi seorang sejarawan profesional yang memang berasal dari sekolah-sekolah administrasi perusahaan.
Kecendrungan masa kini seorang sejarawan perusahaan lebih memusatkan perhatian mereka pada apa yang disebut “perusahaan dalam sejarah”. Mereka berusaha memahami interaksi antara para pengusaha dengan lembaga-lembaga usaha disatu pihak dan bagian-bgian yang berpengaruh dan berhubungan dengan lingkungan di pihk lain. Mereka menruh perhatian pada proses maupun hasil-hasil proses itu. Yang menonjol dalam bidang ini adalah studi mengenai hubungan-hubungan antara pemerintah dan duni usaha, dengan baik tercermin dalam banyak artikel di BHR, dan sebagainya. Dalam buku Peter Burke Sejarah dan Teori Sosial, disitu dijelaskan tentang model. Definisi model yang kita kenal selama ini ialah konstruk (bangunan) intelektual yang menyederhanakan realitas untuk bisa dipahami. Akan tetapi, mungkin akan lebih bermanfaat kalau istilah ‘model’ ini digunakan secara lebih tajam. Mari kita tambahkan satu unsur ke dalam model tentang model ini dan kita definisikan sebagai sebuah konstruk intelektual yang menyederhanakan realitas guna menekankan hal-hal yang berulang-ulang, yakni hal-hal umum dan hal-hal khusus, yang disajikan dalam bentuk sekumpulan ciri dasar dan atribut. Dengan demikian model dan tipe memiliki arti yang sama. Ini mungkin tepat sebab kata Yuani ‘typos’ berarti bentuk atau ‘model’ dan kalau Marx Weber menggunakan kata ‘tipe ideal’ (ideal-typen) maka sosiologiwan modern mungkin memakai kata model.
Terdapat dua model menurut kriteria keanggotaan entitas kelompok, dalam hal ini daerah pemukiman yang menjadi penerapan model. (1) kelompok monothetic. Kelompok yang amat jelas didefinisikan sehingga atribut-atribut keunikanya memadai dan penting bagi anggota-anggotanya. (2) kelompok polythetic. Kelompok yang anggota-anggotanya tidak bergantung pada sebuah atribut. Tetapi sebagian sejarawan merasa tidak punya urusan dengan model serta bersiteguh dengan pendiriannya, bahwa tugas mereka adalah mengkaji hal-hal yang khusus, terutama peristiwa-peristiwa yang unik, bukan yang umum. Namun dalam prakteknya, kebanyakan dari mereka memakai model sebagimana Monsieur Jourdain menggunakan prosa dalam cerita Molière tanpa menyadari bahwa mereka melakukan itu. Dalam model yang telah disederhanakan ternyata terdapat perbedaan istilah. Misalnya sejarawan ekonomi menggunakan istilah “merkantilisme”. Sejarawan politik menggunakan istilah “revolusi”. Sejarawan sosial dan sejarawan budaya menggunakan istilah “kelas”.
Terdapat dua macam model yang bertolak belakang mengenai masyarakat, yaitu ‘konsensual’ dan ‘konfliktual’. Model ‘konsensual’, yang terkait dengan Emile Durkheim, menekankan pentingnya ikatan sosial, solidaritas sosial, kepaduan sosial. ‘Model konfliktual’, yang terkait dengan Karl Marx, menekankan selalu adanya ‘kontradiksi dan konfik sosial’. Dari model-model yang sudah dijelaskan diatas, apabila dihubungkan dengan buku Elit Bisnis Cina di Indonesia dan masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Akan diketahui model seperti apakah dalam buku tersebut. Apakah model konsensual, model konfliktual atau model monothetic, polythetic? Marilah kita bahas bersama. Di permulaan tahun 1990-an mulai banyak dikaji tentang komunitas Cina di Asia Tenggara. Salah satunya adalah tulisan William Skinner, Chinese Society in Thailand (1957). Skinner memberikan penekanan yang kuat pada pembagian vertikal masyarakat Cina dalam hubungannya dengan masyarakat induk yang lebih besar: dimensi sosio-kultural adalah aspek perhatian utama dibanding dimensi ekonominya. Sementara itu pendekatan yang sangat bertentangan dikemukakan oleh Benedict Anderson. Dia melihat bahwa penelitian terdahulu dari para antropolog dan sosiolog sering kali memperlakukan kalangan Cina lebih sebagai kelompok yang saling berlainan, misalnya dengan melihat pada sikap politik mereka, atau pada proses asimilasi dan akulturasi, dibanding sebagai kaum borjusi dagang.
Orang-orang Cina sangat kuat dalam bidang perekonomian, sedangkan orang Indonesia mempunyai kekuatan dalam bidang politik. Dari kedua kelompok ini kemudian saling bersikap memusuhi. Masing-masing saling cemburu dan sangat berhati-hati terhadap lingkup pengaruhnya sendiri-sendiri (ekonomi dan politik), dan merasa segan untuk membuka ruang lingkupnya bagi yang lain. Tetapi pada saat itu, kalangan kapitalis Belandalah yang dipandang sebagai kelompok borjuis di Indonesia. Diantara kelompok Cina sendiri terjadi permusuhan diantara mereka (Cina Totok dengan Cina peranakan). Kebanyakan totok tidak mau berakulturasi dan terkesan dipingginrkan oleh peranakan yang merupakan saingan mereka di era 1940-an.
Sejak awal penjajahan Jepang, pengusaha Cina semakin terkonsentasi di kota-kota. Karena munculnya aktifitas anti-Cina di kalangan Indonesia. Sebagian disebabkan adanya perubahan dalam perekonomian Cina di Jawa dan Sumatera yang lebih cenderung berorientasi ke kota (urban-oriented). Pada bulan-bulan terakhir penjajahan Jepang, konflik ekonomi antara Cina dan Indonesia makin memanas. Dan mulai tampak nyata ketika kemerdekaan Indonesia. Dimana kelas pengusaha Indonesia didukung sepenuhnya oleh pemerintah, sementara kelas pengusaha Cina ditelantarkan. Kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia terhadap pengusaha Cina sangat ambivalen. Misalnya kebijakan ekonomi Hatta terhadap Cina, yang diumumkan September 1946. Kebijakan tersebut adalah (1) penolakan modal dari orang-orang Cina (2) pemaksaan pembagian hasil kekayaan dari Cina kepada pribumi. Hatta merasa bahwa posisi ekonomi kelas pedagang Cina hendaknya diubah dengan menyesuaikan bisnis mereka terhadap sistem ekonomi kerjasama sosialis. Modal dagang Cina dianggap tak diperlukan oleh Republik disebabkan adanya fakta bahwa pemerintah Republik sedang menghadapi ancaman dari aliran yang lebih radikal dalam kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia sendiri, seperti kelompok yang dipimpin Tan Malaka dan PKI. Dan Republik lebih cenderung mengharapkan adanya permodalan dari Belanda di Indonesia. Alasan yang paling mendasar dari perbedaan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap permodalan Cina dan Belanda dapat mengacu pada fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kelas pengusaha yang cukup kuat.
Penyelundupan adalah faktor amat penting atas munculnya pengusaha-pengusah baru. Pola penyelundupan adalah hasil dari konflik politik dan militer antara Indonesia dengan Belanda. Orang Cina bekerjasama dengan kelompok-kelompok revolusioner-revolusioner lokal atau pemerintah Republik, baik militer atau sipil. Di Jawa mereka terlibat dalam perdagangan gelap di daerah-daerah kekuasaan Republik dan Belanda. Sedangkan di Sumatera lebih tertarik pada penyelundupan bahari. Perdagangan bahari terjadi antara Sumatera dan Malaysia/Singapura. Barang yang diperdagangkan seperti persenjataan dan barang hasil pabrik dari Singapura dan Penang.
Persaingan ekonomi Belanda dan Inggris di wilayah ini mendorong pihak Inggris untuk mendukung aktivitas perdagangan bahari Cina, yang juga memberi keuntungan bagi koloni Inggris tersebut. Dari penjelasan di atas, dalam buku tersebut (Elit Bisnis Cina di Indonesia) memakai model konfliktual dan monothetic.
Sejarah perusahaan menekankan terutama pada elemen-elemen mikro ekonomi di masa lampau, dan memusatkan perhatian terutama pada proses perubahan dan sumber asal perubahan itu. Alat yang digunaan oleh sejarawan perusahaan yang profesional tergantung dari tujuannya dan dari pendekatan terhadap pengusaha yang dipilihnya. Setiap pendekatan yang utama melibatkan konteks yang berbeda dalam memandang para pengusaha dan perusahaan di masa lalu. Pendekatan yang dipakai dalam sejarah perusahaan memiliki banyak bidang, misalnya bidang ekonomi, sejarah, politik dan sebagainya. Para sejarawan amatir dengan pengalaman sebagai pengusaha dan penerbit yang ditugaskan untuk menulis sejarah perusahaan bagi kepentingan nonakademis, turut membantu dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan. Tetapi hal ini juga menimbulkan kekaburan bagi seorang sejarawan profesional yang memang berasal dari sekolah-sekolah administrasi perusahaan.
Kecendrungan masa kini seorang sejarawan perusahaan lebih memusatkan perhatian mereka pada apa yang disebut “perusahaan dalam sejarah”. Mereka berusaha memahami interaksi antara para pengusaha dengan lembaga-lembaga usaha disatu pihak dan bagian-bgian yang berpengaruh dan berhubungan dengan lingkungan di pihk lain. Mereka menruh perhatian pada proses maupun hasil-hasil proses itu. Yang menonjol dalam bidang ini adalah studi mengenai hubungan-hubungan antara pemerintah dan duni usaha, dengan baik tercermin dalam banyak artikel di BHR, dan sebagainya. Dalam buku Peter Burke Sejarah dan Teori Sosial, disitu dijelaskan tentang model. Definisi model yang kita kenal selama ini ialah konstruk (bangunan) intelektual yang menyederhanakan realitas untuk bisa dipahami. Akan tetapi, mungkin akan lebih bermanfaat kalau istilah ‘model’ ini digunakan secara lebih tajam. Mari kita tambahkan satu unsur ke dalam model tentang model ini dan kita definisikan sebagai sebuah konstruk intelektual yang menyederhanakan realitas guna menekankan hal-hal yang berulang-ulang, yakni hal-hal umum dan hal-hal khusus, yang disajikan dalam bentuk sekumpulan ciri dasar dan atribut. Dengan demikian model dan tipe memiliki arti yang sama. Ini mungkin tepat sebab kata Yuani ‘typos’ berarti bentuk atau ‘model’ dan kalau Marx Weber menggunakan kata ‘tipe ideal’ (ideal-typen) maka sosiologiwan modern mungkin memakai kata model.
Terdapat dua model menurut kriteria keanggotaan entitas kelompok, dalam hal ini daerah pemukiman yang menjadi penerapan model. (1) kelompok monothetic. Kelompok yang amat jelas didefinisikan sehingga atribut-atribut keunikanya memadai dan penting bagi anggota-anggotanya. (2) kelompok polythetic. Kelompok yang anggota-anggotanya tidak bergantung pada sebuah atribut. Tetapi sebagian sejarawan merasa tidak punya urusan dengan model serta bersiteguh dengan pendiriannya, bahwa tugas mereka adalah mengkaji hal-hal yang khusus, terutama peristiwa-peristiwa yang unik, bukan yang umum. Namun dalam prakteknya, kebanyakan dari mereka memakai model sebagimana Monsieur Jourdain menggunakan prosa dalam cerita Molière tanpa menyadari bahwa mereka melakukan itu. Dalam model yang telah disederhanakan ternyata terdapat perbedaan istilah. Misalnya sejarawan ekonomi menggunakan istilah “merkantilisme”. Sejarawan politik menggunakan istilah “revolusi”. Sejarawan sosial dan sejarawan budaya menggunakan istilah “kelas”.
Terdapat dua macam model yang bertolak belakang mengenai masyarakat, yaitu ‘konsensual’ dan ‘konfliktual’. Model ‘konsensual’, yang terkait dengan Emile Durkheim, menekankan pentingnya ikatan sosial, solidaritas sosial, kepaduan sosial. ‘Model konfliktual’, yang terkait dengan Karl Marx, menekankan selalu adanya ‘kontradiksi dan konfik sosial’. Dari model-model yang sudah dijelaskan diatas, apabila dihubungkan dengan buku Elit Bisnis Cina di Indonesia dan masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Akan diketahui model seperti apakah dalam buku tersebut. Apakah model konsensual, model konfliktual atau model monothetic, polythetic? Marilah kita bahas bersama. Di permulaan tahun 1990-an mulai banyak dikaji tentang komunitas Cina di Asia Tenggara. Salah satunya adalah tulisan William Skinner, Chinese Society in Thailand (1957). Skinner memberikan penekanan yang kuat pada pembagian vertikal masyarakat Cina dalam hubungannya dengan masyarakat induk yang lebih besar: dimensi sosio-kultural adalah aspek perhatian utama dibanding dimensi ekonominya. Sementara itu pendekatan yang sangat bertentangan dikemukakan oleh Benedict Anderson. Dia melihat bahwa penelitian terdahulu dari para antropolog dan sosiolog sering kali memperlakukan kalangan Cina lebih sebagai kelompok yang saling berlainan, misalnya dengan melihat pada sikap politik mereka, atau pada proses asimilasi dan akulturasi, dibanding sebagai kaum borjusi dagang.
Orang-orang Cina sangat kuat dalam bidang perekonomian, sedangkan orang Indonesia mempunyai kekuatan dalam bidang politik. Dari kedua kelompok ini kemudian saling bersikap memusuhi. Masing-masing saling cemburu dan sangat berhati-hati terhadap lingkup pengaruhnya sendiri-sendiri (ekonomi dan politik), dan merasa segan untuk membuka ruang lingkupnya bagi yang lain. Tetapi pada saat itu, kalangan kapitalis Belandalah yang dipandang sebagai kelompok borjuis di Indonesia. Diantara kelompok Cina sendiri terjadi permusuhan diantara mereka (Cina Totok dengan Cina peranakan). Kebanyakan totok tidak mau berakulturasi dan terkesan dipingginrkan oleh peranakan yang merupakan saingan mereka di era 1940-an.
Sejak awal penjajahan Jepang, pengusaha Cina semakin terkonsentasi di kota-kota. Karena munculnya aktifitas anti-Cina di kalangan Indonesia. Sebagian disebabkan adanya perubahan dalam perekonomian Cina di Jawa dan Sumatera yang lebih cenderung berorientasi ke kota (urban-oriented). Pada bulan-bulan terakhir penjajahan Jepang, konflik ekonomi antara Cina dan Indonesia makin memanas. Dan mulai tampak nyata ketika kemerdekaan Indonesia. Dimana kelas pengusaha Indonesia didukung sepenuhnya oleh pemerintah, sementara kelas pengusaha Cina ditelantarkan. Kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia terhadap pengusaha Cina sangat ambivalen. Misalnya kebijakan ekonomi Hatta terhadap Cina, yang diumumkan September 1946. Kebijakan tersebut adalah (1) penolakan modal dari orang-orang Cina (2) pemaksaan pembagian hasil kekayaan dari Cina kepada pribumi. Hatta merasa bahwa posisi ekonomi kelas pedagang Cina hendaknya diubah dengan menyesuaikan bisnis mereka terhadap sistem ekonomi kerjasama sosialis. Modal dagang Cina dianggap tak diperlukan oleh Republik disebabkan adanya fakta bahwa pemerintah Republik sedang menghadapi ancaman dari aliran yang lebih radikal dalam kekuatan-kekuatan revolusioner Indonesia sendiri, seperti kelompok yang dipimpin Tan Malaka dan PKI. Dan Republik lebih cenderung mengharapkan adanya permodalan dari Belanda di Indonesia. Alasan yang paling mendasar dari perbedaan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap permodalan Cina dan Belanda dapat mengacu pada fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kelas pengusaha yang cukup kuat.
Penyelundupan adalah faktor amat penting atas munculnya pengusaha-pengusah baru. Pola penyelundupan adalah hasil dari konflik politik dan militer antara Indonesia dengan Belanda. Orang Cina bekerjasama dengan kelompok-kelompok revolusioner-revolusioner lokal atau pemerintah Republik, baik militer atau sipil. Di Jawa mereka terlibat dalam perdagangan gelap di daerah-daerah kekuasaan Republik dan Belanda. Sedangkan di Sumatera lebih tertarik pada penyelundupan bahari. Perdagangan bahari terjadi antara Sumatera dan Malaysia/Singapura. Barang yang diperdagangkan seperti persenjataan dan barang hasil pabrik dari Singapura dan Penang.
Persaingan ekonomi Belanda dan Inggris di wilayah ini mendorong pihak Inggris untuk mendukung aktivitas perdagangan bahari Cina, yang juga memberi keuntungan bagi koloni Inggris tersebut. Dari penjelasan di atas, dalam buku tersebut (Elit Bisnis Cina di Indonesia) memakai model konfliktual dan monothetic.
No comments:
Post a Comment
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.