Pages

Saturday, March 26, 2011

Sedikit Ulasan dari Buku: Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah (James C.Scott)

Buku ini membahas perlawana kaum lemah (Petani miskin) menentang kelakuan semena-mena dan eksploitatif dari kelompok ekonomi dan politik yang kuat, baik dari masyarakat mereka sendiri maupun yang datang dari luar. Para petani yang lemah di dunia ketiga, pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan. Sehingga mereka berusaha melakukan sebuah perlawanan. Dari perlawanan itu maka mulai muncul berbagai konflik.Konflik ini dapat terbuka ataupun tertutup. Para petani gurem sering mengadakan aliansi dengan kekuatan sosial-politik dari luar wilayah mereka yang juga merasa diperlakukan secara tidak adil, dalam upaya mereka menuntut keadilan. Aliansi ini mengandung sisi positif dan negatif. Segi positifnya adalah upaya petani gurem untuk menegakkan keadilan menjadi lebih terorganisir, sistematis dan memperoleh dukungan ideologis yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan masyarakat luas.
Sedangkan dampak negatifnya adalah ketika para petani melakukan gerakan protes dan aksi tersebut mendapat dukungan baik dari tokoh agama yang kharismatik ataupun dari partai poltik yang radikal, pasti akan memperoleh reaksi yang represif dari rezim yang berkuasa. Dalam situasi seperti ini yang menjadi korban juga petani gurem itu sendiri. Sehingga pada tahun 1960-an banyak pemerintahan di Asia yang menciptakan kebijakan baru yang dapat mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pemicu dari timbulnya pemberontakan petani.
Di pulau Jawa pada abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20, sering muncul gerakan Rayu Adil di pedesaan. Gerakan ini sebagai wadah dari para petani untuk melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan semena-mena yang dilakukan oleh pihak kapitalis perkebunan aparat pemerintah kolonial atau tindakan kolutif antara keduanya. Tetapi gerakan ini dapat dilibas oleh pemerintah Belanda. Pengalaman pahit ini memaksa petani Jawa mencari strategi perlawanan baru yang aman. Salah satu strategi yang digunakan oleh petani di daerah pabrik gula adalah membakar ladang tebu milik pabrik gula. strategi ini dianggap lebih aman daripada gerakan Ratu Adil, karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi aparat negara. Pemerintah negara-negara berkembang sudah lama melakukan berbagai program pembangunan desa untuk meningkatkan kehidupan rakyat pedesaan. Berbagai teori dan strategi telah diupayakan untuk mendukung program ini. Namun kenyataanya pembangunan di negara-negara berkembang belum banyak berubah seperti yang dikehendaki oleh masing-masing pemerintah negara itu. Salah satu penyebabnya adalah karena program itu tidak sesuai dengan keinginan dan aspirasi rakyat. Karena rakyat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. Sebagai protes terhdap hal ini, para petani dan penduduk pedesaan umumnya tidak mau berpartisipasi dalam mengembangkan program yang diusung oleh pemerintah. Banyak program yang akhirnya mubazir, dan pemerintah seperti dirugikan milyaran rupiah. Untuk mengatasi masalah itu maka dikembangkan lagi teori-teori baru yaitu “sustainable development”, “empowerment”, “gender”, “people development”.
Dalam memahami gerakan petani ini kita terlebih dahulu harus memahami bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari yang dipakai petani. Bentuk perlawanan ini tentunya antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk perlawanan ini hampir saja menimbulkan tantangan kolektif langsung. Perlawanan ini berbentuk perlawanan jangka panjang yang prosaic. Hal inilah senjata-senjata biasa milik kelas yang relative tak berdaya dan selalu kalah seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan dan lain-lain. Mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan ; menggunakan pemahaman implicit serta jaringan informal ; sering mengambil bentuk mengurus diri sendiri dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis yang langsung dengan kekuasaan. Sebenarnya justru cara-cara perlawanan demikian ini sering merupakan yang paling berarti dan yang paling efektif dalam jangka yang panjang.
Di Negara dunia ketiga para petani jarang mau mengambil konfrontasi langsung dengan pihak berwenang tentang pajak, pola-pola tanam, kebijakan pembangunan atau undang-undang baru yang memberatkan mereka malah lebih besar kemungkinan menggerogoti kebijakan-kebijakan demikian dengan cara tidak mau menerima permintaan, memperlambat kesepakatan pekerjaan dan penipuan. Sebagai pengganti invasi tanah, mereka lebih suka membuka tanah sekedarnya daripada mengadakan pemberontakan terbuka, mereka lebih suka melarikan diri daripada menyerang dan menjarah gudang-gudang penyimpanan padi milik pemerintah ataupun swasta, mereka memilih jalan mencuri yang sedikit-sedikit.
Tehnik-tehnik low-profile dengan demikian sangat cocok untuk struktur sosial kelas petani – suatu kelas yang bertaburan di wilayah pedesaan, tanpa organisasi formal dan paling siap untuk melakukan kampanye defensive menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya. Tindakan perorangan berupa melambatkan pekerjaandan mengelak, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan itu diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya mungkin menjadikan kebijakan-kebijakan yang diimpi-impikan oleh calon atasan mereka jadi kacau balau. Sebagian besar dalam cara inilah kelas petani menyatakan kehadiran politisnya. Karena alasan-alasan ini penting sekali bagi kita memahami tumpukan kegiatan petani yang tenang dan anonim.
Untuk tujuan diatas, penulis melakukan penelitian di sebuah kampung di Malaysia. Kampung itu bernama kampung Sedaka. Di kampung itu ada sebuah komunitas petani padi dengan 70 kepala keluarga, yang memulai dengan panen dua kali setahun tahun 1972. Di komunitas itu terjadi revolusi hijau, kelas yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin atau makin miskin ditambah lagi banyak dioperasikannya mesin-mesin kombinasi pemanen secara besar-besaran pada tahun 1976 mungkin merupakan coup de grace, karena menghilangkan dua pertiga kesempatan mata pencaharian bagi para petani kecil dan gurem. Perhatian penulis tertuju pada pertarungan ideology di kampung itu yang menjadi dasar perlawanan dan juga kepada praktek perlawanan itu sendiri.
Perlawanan itu sendiri banyak didominasi oleh pertarungan antar kelas dan dominasi ideologis yang memberi arti praktis dan teoritisnya. Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan simbol-simbol tentang bagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama; pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Sebenarnya petarungan seperti ini tidak terlalu indah karena didalamnya ada fitnah, pergunjungan dan gossip yang bertujuan merusak nama baik orang, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tapi maksudnya merendahkan orang lain. Yang menarik dari pertarungan antar kelas ini adalah tingkat kesamaan pandangan hidup yang dibutuhkannya. Baik pergunjungan maupun perusakan nama baik orang misalnya, tak ada artinya kecuali terdapat standar bersama, mengenai apa yang diinamakan penyimpangan, tidak patut atau tidak senonoh. Terlepas dari sangsi kekuasaan pendapat umum yang dimobilisir dan yang disetujui, sebagaian pertarungan ini juga dapat diartikan sebagai upaya kaum miskin untuk melawan marjinalisasi ekonomi dan ritual yang sekarang mereka alami dan mendesak agar diberi kaedahan budaya minimal sebagai warga terhormat dalam komunitas kecil itu.

1 comment:

  1. mas bsa mnta tlong ngk krim yg versi lengkapnya senjata orang2 kalah (james c scott) ke alamat email ini sandal_wood89@yahoo.com

    ReplyDelete

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.