Keberadaan kota-kota di Hindian Belanda (sebutan Indonesia pada saat itu) merupaka suatu realitas yang tidak dapat dipisahkan dari peran orang-orang barat khusunya Belanda dalam menciptakan sebuah kreasi di dunia timur. Kreasi tersebut dibuat dengan berbagai cara. Pertama yaitu dengan pembuatan jalan raya, jalur kereta api, jalur perhubungan laut. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, pada tahun 1808-1811, yang mengimajinasikan terjalinnya rangkaian kota-kota di pesisir utara Jawa ke dalam satu jaringan jalan utama.Pembangunan jalan yang di kemudian hari dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) itu dimaksudkan untuk menahan laju invasi Inggris dari arah laut utara. Dimana sepanjang jalan itu, setiap 16 1/3 menit, ada sebuah pancang untuk menunjukkan jarak. Pada setiap pancang kelima, ada bangsal untuk mengganti kuda kereta surat pemerintah Pembangunannya yang begitu cepat, dengan menerapkan sistem kerja paksa pada masyarakat pribumi telah memicu banyak kontroversi, apakah pembangunan sarana perhubungan ini layak dianggap sebagai satu bentuk “jasa” kolonialisme, atau sebaliknya?
Cara yang kedua yaitu sebuah imajinasi tentang jalan besi (rel kereta api). Pada tahun 1842, Kopiist, sebuah majalah yang terbit di Hindia Belanda telah mengkampanyekan pentingnya membangun jalur-jalur kereta di Pulau Jawa. Dalam terbitannya itu, majalah Kopiist menyajikan sebuah artikel tentang “jalur-jalur kereta uap dan gerbong-gerbongnya” Secara meyakinkan Kopiist mengajukan fakta, bahwa: Asia, sampai sekarang, tidak mempunyai jalan kereta api satu pun. Orang tahu betul fakta bahwa penduduk Jawa, sejauh menyangkut jumlah dan potensinya, tidak merata sebarannya. Di negeri seperti ini, digunakannya satu mesin uap saja, tentulah, akan membebaskan sejumlah besar tangan yang demikian mendesak dibutuhkan untuk pertanian kita di lokasi-lokasi lain. Pada perkembangannya, jasa kereta api tidak hanya memudahkan perhubungan untuk kepentingan produksi dan distribusi komoditas kolonial, melainkan juga jasa transportasi publik.
Cara yang ketiga yaitu sarana perhubungan laut. Perhubungan ini sangat penting untuk pertahanan terhadap serangan/invasi lawan dan keperluan-keperluan ekonomi, seperti pengangkutan hasil-hasil perkebunan, peternakan, serta kepentingan pariwisata. Perusahaan pelayaran kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatchappij), yang didirikan pada tahun 1888 berkembang begitu pesat dan mampu melayani kebutuhan pelayaran antarpulau di Hindia Belanda secara teratur (Lombard, 2000: 51). Hingga tahun 1927, KPM telah memiliki 136 kapal laut dan mengarungi seluruh kepulauan di Nusantara dan mancanegara. Di samping mengangkut para penumpang, KPM juga secara tetap mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke daerah-daerah terpencil, di samping mengangkut berbagai komoditas ekspor dan impor Jalinan sarana perhubungan antara darat dan laut ini telah membuka kemungkinan bagi aktivitas rekreatif, yaitu mengunjungi berbagai obyek wisata di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Setelah sarana-sarana perhubungan itu siap menyokong arus pariwisata, maka tinggal satu jengkal lagi yang tersisa: menyiarkan kemolekan negeri bernama Hindia Belanda.
KOTA DAN PARIWISATA
Pertumbuhan kota-kota di Hindia Belanda akibat penjajahan tak pelak turut berimbas pada ciri khas kehidupan ala Eropa di negeri jajahan ini. Seperti telah disebutkan, sarana perhubungan darat modern yang sebelumnya tidak dikenal, pada awal abad ke-20 telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Demikian juga pemanfaatan waktu luang (leisure time), liburan, serta kegiatan tamasya telah menjadi bagian yang tak dapat dielakkan lagi. Klub-klub sosial yang berorientasi pada hiburan, seperti Societeit Harmonie, yang didirikan pertama kali di Batavia tahun 1814 merupakan salah satu tempat favorit untuk menikmati hiburan. Di dalam Societeit Harmonie, para anggotanya yang merupakan kalangan kelas atas di Hindia Belanda dapat bermain kartu, bermain bowling, ataupun sekedar berdansa.
Awal mula industri pariwisata di Hindia Belanda ditandai dengan terbentuknya asosiasi yang mengatur lalu-lintas pariwisata bernama Vereeniging Toeristenverkeer in Nederlandsch Indie. Asosiasi ini dibentuk pada tahun 1908 oleh perwakilan berbagai bank, perusahaan asuransi, jawatan perkeratapian, serta maskapai pelayaran. Melalui asosiasi yang disubsidi oleh pemerintah ini, lahirlah kantor Official Tourist Bureau yang bertugas membangun kerjasama dengan biro-biro perjalanan terbesar zaman itu, serta membuka kantor perwakilan di seluruh Jawa dan luar negeri. Pelembagaan industri wisata yang ditandai dengan berdirinya Official Tourist Bureau tentu hanya satu dari sekian banyak hal lain yang turut mendukung pembangunan dan perkembangan dunia wisata masa itu. Pembangunan infrastruktur pariwisata lainnya, yang meliputi sarana transportasi baik di darat maupun laut, pembangunan gedung-gedung perhotelan, pengelolaan obyek-obyek wisata, hingga upaya mempromosikan obyek wisata menjadi bagian penting dalam laju perkembangan industri pariwisata pada masa ini. Sebagai sebuah embrio, berbagai infrastruktur primer ini telah memberikan pijakan yang cukup kuat bagi keberlangsungan industri pariwisata kemudian, bahkan hingga saat ini.
Pembangunan industri pariwisata juga berkelindan dengan kepentingan kolonialisme Belanda, yaitu untuk menciptakan nuansa eksotis dari negeri jajahan. Proyek pariwisata di negeri terjajah ini tak bisa dilepaskan dari propaganda pemerintah Belanda untuk memperbaiki citra buruk kolonialisme yang tergambar jelas dalam rangkaian perang-perang penaklukan di Hindia Belanda, seperti Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), dan terakhir Perang Bali/Puputan (sekitar tahun 1906 dan 1908). Rekaman tragis berbagai macam peperangan itu menerbitkan beragam kritik dan menjadi sumber rasa malu bagi pemerintahan Belanda, di samping kekejaman masa tanam paksa (1830-1870). Industri pariwisata secara sadar digunakan oleh Belanda untuk memoles citra kekejaman pemerintah kolonial menjadi citra yang memuliakan masyarakat bumiputra. Periode politik etis yang diberlakukan sejak tahun 1901 serta konstruksi citra Mooi Indie (yang menjadi trade mark pariwisata di Hindia Belanda) kemudian menjadi proyek besar bagi pembalikan citra negeri jajahan Hindia Belanda yang rusuh, miskin, dan jauh dari peradaban modern.
Secara mendalam, citra Mooi Indie sebetulnya merupakan kecenderungan umum masyarakat Eropa dalam memandang dunia yang lain (dunia Timur). Onghokham (1994). Secara jelas mengatakan bahwa Mooi Indie merupakan bagian dari orientalisme, yaitu corak pandangan dan kreasi intelektual barat dalam “menciptakan” dunia Timur. Menurut Onghokham, kreasi Mooi Indie bertolak belakang dengan realitas desa-desa di Jawa yang tidak tenang dan damai, melainkan rusuh dan penuh gejolak. Gerakan Samin dan Perang Jawa, misalnya, merupakan sebagian bukti dari ketidakteraturan tatanan kolonial. Dengan penggambaran Hindia yang molek, pemerintah Belanda hendak membekukan tatanan yang demikian: bangsa terperintah hidup dalam suasana tenang dan damai.
Konstruksi Pencitraan Hindia yang Molek
Pentingnya memeriksa kembali konstruksi pencitraan Hindia Belanda sebagai negeri yang indah, tenang, dan damai merupakan cara paling efektif untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Barat (non-pemerintah) dan pemerintah membangun akar-akar turisme di Hindia Belanda. Melalui berbagai macam buku, kartu pos, maupun pameran kolonial, Hindia Belanda mulai dikenal oleh masyarakat dunia. Pengalaman Miguel Covarrubias yang sempat mengunjungi Pulau Bali dan akhirnya mengarang buku yang sangat terkenal, Island of Bali (terbit tahun 1937), dapat memberikan gambaran yang cukup memadai tentang pengaruh citra yang dibentuk melalui media cetak. Covarrubias, pelukis ternama dari Meksiko, mengunjungi Bali pada tahun 1930 setelah menyaksikan buku kumpulan foto tentang Bali yang dibuat oleh Gregor Krause (terbit pertama kali tahun 1922). Buku ini begitu menarik dan mampu menyajikan eksotisme masyarakat Bali, terutama karena menampilkan keindahan bentuk tubuh perempuan Bali
Seolah menegaskan kembali apa yang ditampilkan oleh Krause dalam bukunya, Covarrubias menulis: “... kini semua orang tahu bahwa gadis-gadis Bali bertubuh indah dan bahwa penduduk pulau ini hidup seperti dalam komedi musikal, penuh dengan upacara-upacara aneh nan indah... ‘Sorga terakhir‘ yang baru ditemukan itu telah menjadi pengganti baru dari konsepsi romantis abad ke-19 tentang Utopia primitif itu...”.
Covarrubias dan Bali merupakan sebuah contoh yang gamblang bagaimana citra tentang Mooi Indie itu dibangun. Memboncengi keberhasilan revolusi cetak (printing revolution), imej tentang negeri Hindia Belanda yang misterius tapi memesona lambat laun terbangun dan tersebar melalui buku-buku, brosur wisata, maupun kartu pos. Sebuah brosur wisata yang diterbitkan oleh KPM pada tahun 1914, mempromosikan tentang kemolekan Pulau Bali dengan tampilan yang cukup memikat: gambar tentang pemandangan hutan, pohon-pohon palem, dan bentangan sawah yang menghijau. Brosur itu berpesan: “You leave this island with a sigh of regret and as long as you live you can never forget this Garden of Eden,” (dalam Vickers, 1989: 91).
Selain brosur, perkembangan media komunikasi surat-menyurat juga ikut mengukuhkan citra Mooi Indie itu. Lewat kartu pos yakni selembar kartu bergambar yang berisi ruang untuk menuliskan pesan pendek, alamat, serta prangko beragam citra kemolekan Hindia Belanda disebarkan kepada sanak saudara maupun kenalan di seluruh dunia. Dalam catatan sejarah, kartu pos mulai dikenal di Belanda kira-kira tahun 1871. Di negeri jajahannya, Hindia Belanda, kartu pos baru dikenal beberapa tahun kemudian. Promosi penggunaan kartu pos secara massal dapat dilihat dalam Java Bode.
Dalam buku Indonesia 500 Early Postcards, Haks dan Wachlin menampilkan beragam gambaran tentang Hindia Belanda. Buku ini secara khusus memilah 500 kartu pos ke dalam pembagian tema berdasarkan geo-budaya, antara lain kartu pos-kartu pos yang menggambarkan alam, manusia, dan kebudayaan di wilayah Sumatra, Batavia (Jakarta), Jawa, Bali dan Sumbawa, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), serta New Guinea (Papua) dan Maluku. Kesan tentang perempuan Hindia Belanda yang sensual nampak dalam gambar perempuan Jawa yang berdada montok, rambut disanggul, dan memakai kemben. Begitu pula sensualitas perempuan Bali yang pernah dijuluki sebagai “Pulau Dada Telanjang” nampak begitu nyata melalui empat orang perempuan Bali dengan kain yang melilit sebatas perut, bertelanjang dada, dan sedang menyunggi tampah.
Perempuan Jawa dan Bali. Sumber: Hack & Wachlin, 2006: 194 & 220
Dalam ranah kesenian, gambaran tentang tari-tarian seperti Tari Perang di Nias, Tari Topeng di Jawa, maupun tari Bali menjadi gambar yang cukup menarik perhatian. Pusat-pusat fasilitas umum, seperti kantor pos, pasar, rel dan stasiun kereta api, jaringan telepon, pusat-pusat kebudayaan (teater), serta hotel memberi gambaran luas tentang “kemajuan” yang telah dicapai oleh Hindia Belanda kala itu.
Memang harus segera disebutkan, bahwa citra eksotis Hindia Belanda tidak hanya dikonstruksi melalui media cetak, melainkan juga melalui berbagai macam Pameran Kolonial, salah satunya Pameran Kolonial Internasional di Paris, Prancis pada tahun 1931. Di dalam Pameran Kolonial Internasional itu, para penguasa negeri jajahan seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan lain-lain berlomba-lomba menunjukkan keunikan negeri-negeri jajahannya, misalnya dengan cara menampilkan replika atau tiruan pondok beratap rumput dari Oceania atau tiruan candi dari Kamboja.
Cara yang kedua yaitu sebuah imajinasi tentang jalan besi (rel kereta api). Pada tahun 1842, Kopiist, sebuah majalah yang terbit di Hindia Belanda telah mengkampanyekan pentingnya membangun jalur-jalur kereta di Pulau Jawa. Dalam terbitannya itu, majalah Kopiist menyajikan sebuah artikel tentang “jalur-jalur kereta uap dan gerbong-gerbongnya” Secara meyakinkan Kopiist mengajukan fakta, bahwa: Asia, sampai sekarang, tidak mempunyai jalan kereta api satu pun. Orang tahu betul fakta bahwa penduduk Jawa, sejauh menyangkut jumlah dan potensinya, tidak merata sebarannya. Di negeri seperti ini, digunakannya satu mesin uap saja, tentulah, akan membebaskan sejumlah besar tangan yang demikian mendesak dibutuhkan untuk pertanian kita di lokasi-lokasi lain. Pada perkembangannya, jasa kereta api tidak hanya memudahkan perhubungan untuk kepentingan produksi dan distribusi komoditas kolonial, melainkan juga jasa transportasi publik.
Cara yang ketiga yaitu sarana perhubungan laut. Perhubungan ini sangat penting untuk pertahanan terhadap serangan/invasi lawan dan keperluan-keperluan ekonomi, seperti pengangkutan hasil-hasil perkebunan, peternakan, serta kepentingan pariwisata. Perusahaan pelayaran kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatchappij), yang didirikan pada tahun 1888 berkembang begitu pesat dan mampu melayani kebutuhan pelayaran antarpulau di Hindia Belanda secara teratur (Lombard, 2000: 51). Hingga tahun 1927, KPM telah memiliki 136 kapal laut dan mengarungi seluruh kepulauan di Nusantara dan mancanegara. Di samping mengangkut para penumpang, KPM juga secara tetap mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke daerah-daerah terpencil, di samping mengangkut berbagai komoditas ekspor dan impor Jalinan sarana perhubungan antara darat dan laut ini telah membuka kemungkinan bagi aktivitas rekreatif, yaitu mengunjungi berbagai obyek wisata di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Setelah sarana-sarana perhubungan itu siap menyokong arus pariwisata, maka tinggal satu jengkal lagi yang tersisa: menyiarkan kemolekan negeri bernama Hindia Belanda.
KOTA DAN PARIWISATA
Pertumbuhan kota-kota di Hindia Belanda akibat penjajahan tak pelak turut berimbas pada ciri khas kehidupan ala Eropa di negeri jajahan ini. Seperti telah disebutkan, sarana perhubungan darat modern yang sebelumnya tidak dikenal, pada awal abad ke-20 telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Demikian juga pemanfaatan waktu luang (leisure time), liburan, serta kegiatan tamasya telah menjadi bagian yang tak dapat dielakkan lagi. Klub-klub sosial yang berorientasi pada hiburan, seperti Societeit Harmonie, yang didirikan pertama kali di Batavia tahun 1814 merupakan salah satu tempat favorit untuk menikmati hiburan. Di dalam Societeit Harmonie, para anggotanya yang merupakan kalangan kelas atas di Hindia Belanda dapat bermain kartu, bermain bowling, ataupun sekedar berdansa.
Awal mula industri pariwisata di Hindia Belanda ditandai dengan terbentuknya asosiasi yang mengatur lalu-lintas pariwisata bernama Vereeniging Toeristenverkeer in Nederlandsch Indie. Asosiasi ini dibentuk pada tahun 1908 oleh perwakilan berbagai bank, perusahaan asuransi, jawatan perkeratapian, serta maskapai pelayaran. Melalui asosiasi yang disubsidi oleh pemerintah ini, lahirlah kantor Official Tourist Bureau yang bertugas membangun kerjasama dengan biro-biro perjalanan terbesar zaman itu, serta membuka kantor perwakilan di seluruh Jawa dan luar negeri. Pelembagaan industri wisata yang ditandai dengan berdirinya Official Tourist Bureau tentu hanya satu dari sekian banyak hal lain yang turut mendukung pembangunan dan perkembangan dunia wisata masa itu. Pembangunan infrastruktur pariwisata lainnya, yang meliputi sarana transportasi baik di darat maupun laut, pembangunan gedung-gedung perhotelan, pengelolaan obyek-obyek wisata, hingga upaya mempromosikan obyek wisata menjadi bagian penting dalam laju perkembangan industri pariwisata pada masa ini. Sebagai sebuah embrio, berbagai infrastruktur primer ini telah memberikan pijakan yang cukup kuat bagi keberlangsungan industri pariwisata kemudian, bahkan hingga saat ini.
Pembangunan industri pariwisata juga berkelindan dengan kepentingan kolonialisme Belanda, yaitu untuk menciptakan nuansa eksotis dari negeri jajahan. Proyek pariwisata di negeri terjajah ini tak bisa dilepaskan dari propaganda pemerintah Belanda untuk memperbaiki citra buruk kolonialisme yang tergambar jelas dalam rangkaian perang-perang penaklukan di Hindia Belanda, seperti Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), dan terakhir Perang Bali/Puputan (sekitar tahun 1906 dan 1908). Rekaman tragis berbagai macam peperangan itu menerbitkan beragam kritik dan menjadi sumber rasa malu bagi pemerintahan Belanda, di samping kekejaman masa tanam paksa (1830-1870). Industri pariwisata secara sadar digunakan oleh Belanda untuk memoles citra kekejaman pemerintah kolonial menjadi citra yang memuliakan masyarakat bumiputra. Periode politik etis yang diberlakukan sejak tahun 1901 serta konstruksi citra Mooi Indie (yang menjadi trade mark pariwisata di Hindia Belanda) kemudian menjadi proyek besar bagi pembalikan citra negeri jajahan Hindia Belanda yang rusuh, miskin, dan jauh dari peradaban modern.
Secara mendalam, citra Mooi Indie sebetulnya merupakan kecenderungan umum masyarakat Eropa dalam memandang dunia yang lain (dunia Timur). Onghokham (1994). Secara jelas mengatakan bahwa Mooi Indie merupakan bagian dari orientalisme, yaitu corak pandangan dan kreasi intelektual barat dalam “menciptakan” dunia Timur. Menurut Onghokham, kreasi Mooi Indie bertolak belakang dengan realitas desa-desa di Jawa yang tidak tenang dan damai, melainkan rusuh dan penuh gejolak. Gerakan Samin dan Perang Jawa, misalnya, merupakan sebagian bukti dari ketidakteraturan tatanan kolonial. Dengan penggambaran Hindia yang molek, pemerintah Belanda hendak membekukan tatanan yang demikian: bangsa terperintah hidup dalam suasana tenang dan damai.
Konstruksi Pencitraan Hindia yang Molek
Pentingnya memeriksa kembali konstruksi pencitraan Hindia Belanda sebagai negeri yang indah, tenang, dan damai merupakan cara paling efektif untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Barat (non-pemerintah) dan pemerintah membangun akar-akar turisme di Hindia Belanda. Melalui berbagai macam buku, kartu pos, maupun pameran kolonial, Hindia Belanda mulai dikenal oleh masyarakat dunia. Pengalaman Miguel Covarrubias yang sempat mengunjungi Pulau Bali dan akhirnya mengarang buku yang sangat terkenal, Island of Bali (terbit tahun 1937), dapat memberikan gambaran yang cukup memadai tentang pengaruh citra yang dibentuk melalui media cetak. Covarrubias, pelukis ternama dari Meksiko, mengunjungi Bali pada tahun 1930 setelah menyaksikan buku kumpulan foto tentang Bali yang dibuat oleh Gregor Krause (terbit pertama kali tahun 1922). Buku ini begitu menarik dan mampu menyajikan eksotisme masyarakat Bali, terutama karena menampilkan keindahan bentuk tubuh perempuan Bali
Seolah menegaskan kembali apa yang ditampilkan oleh Krause dalam bukunya, Covarrubias menulis: “... kini semua orang tahu bahwa gadis-gadis Bali bertubuh indah dan bahwa penduduk pulau ini hidup seperti dalam komedi musikal, penuh dengan upacara-upacara aneh nan indah... ‘Sorga terakhir‘ yang baru ditemukan itu telah menjadi pengganti baru dari konsepsi romantis abad ke-19 tentang Utopia primitif itu...”.
Covarrubias dan Bali merupakan sebuah contoh yang gamblang bagaimana citra tentang Mooi Indie itu dibangun. Memboncengi keberhasilan revolusi cetak (printing revolution), imej tentang negeri Hindia Belanda yang misterius tapi memesona lambat laun terbangun dan tersebar melalui buku-buku, brosur wisata, maupun kartu pos. Sebuah brosur wisata yang diterbitkan oleh KPM pada tahun 1914, mempromosikan tentang kemolekan Pulau Bali dengan tampilan yang cukup memikat: gambar tentang pemandangan hutan, pohon-pohon palem, dan bentangan sawah yang menghijau. Brosur itu berpesan: “You leave this island with a sigh of regret and as long as you live you can never forget this Garden of Eden,” (dalam Vickers, 1989: 91).
Selain brosur, perkembangan media komunikasi surat-menyurat juga ikut mengukuhkan citra Mooi Indie itu. Lewat kartu pos yakni selembar kartu bergambar yang berisi ruang untuk menuliskan pesan pendek, alamat, serta prangko beragam citra kemolekan Hindia Belanda disebarkan kepada sanak saudara maupun kenalan di seluruh dunia. Dalam catatan sejarah, kartu pos mulai dikenal di Belanda kira-kira tahun 1871. Di negeri jajahannya, Hindia Belanda, kartu pos baru dikenal beberapa tahun kemudian. Promosi penggunaan kartu pos secara massal dapat dilihat dalam Java Bode.
Dalam buku Indonesia 500 Early Postcards, Haks dan Wachlin menampilkan beragam gambaran tentang Hindia Belanda. Buku ini secara khusus memilah 500 kartu pos ke dalam pembagian tema berdasarkan geo-budaya, antara lain kartu pos-kartu pos yang menggambarkan alam, manusia, dan kebudayaan di wilayah Sumatra, Batavia (Jakarta), Jawa, Bali dan Sumbawa, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), serta New Guinea (Papua) dan Maluku. Kesan tentang perempuan Hindia Belanda yang sensual nampak dalam gambar perempuan Jawa yang berdada montok, rambut disanggul, dan memakai kemben. Begitu pula sensualitas perempuan Bali yang pernah dijuluki sebagai “Pulau Dada Telanjang” nampak begitu nyata melalui empat orang perempuan Bali dengan kain yang melilit sebatas perut, bertelanjang dada, dan sedang menyunggi tampah.
Perempuan Jawa dan Bali. Sumber: Hack & Wachlin, 2006: 194 & 220
Dalam ranah kesenian, gambaran tentang tari-tarian seperti Tari Perang di Nias, Tari Topeng di Jawa, maupun tari Bali menjadi gambar yang cukup menarik perhatian. Pusat-pusat fasilitas umum, seperti kantor pos, pasar, rel dan stasiun kereta api, jaringan telepon, pusat-pusat kebudayaan (teater), serta hotel memberi gambaran luas tentang “kemajuan” yang telah dicapai oleh Hindia Belanda kala itu.
Memang harus segera disebutkan, bahwa citra eksotis Hindia Belanda tidak hanya dikonstruksi melalui media cetak, melainkan juga melalui berbagai macam Pameran Kolonial, salah satunya Pameran Kolonial Internasional di Paris, Prancis pada tahun 1931. Di dalam Pameran Kolonial Internasional itu, para penguasa negeri jajahan seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan lain-lain berlomba-lomba menunjukkan keunikan negeri-negeri jajahannya, misalnya dengan cara menampilkan replika atau tiruan pondok beratap rumput dari Oceania atau tiruan candi dari Kamboja.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.